Lahir dan meninggal : 17 April 2008, 14.30 di Rs Family Pluitblitz, 25 November 2010 #1 tudegin likes this. |
blitz [DS] Senior Kehamilan 30 mingguSaya sempat balik sekali ke Dr. Yani . Saya langsung memperlihatkan foto baby USG 4D. Dokter tersentak kaget, badannya mundur, menjauh dari mejanya, langsung mengangkat kedua tangannya. “Ya mau diapain lagi… ini udah rencana Tuhan..” Hanya itu yang dikatakan olehnya.Dokter sempat kesal karena lima bulan saya tidak kontrol dengannya, malah pindah ke lain hati. Padahal semua bayi yang jumlahnya selusin di keluarga kami ditambah beberapa bayi dari sepupu saya, lahir ditangannya.Sambil USG, dokter berkata, “hamil lagi deh, berikutnya nggak akan begini lagi, saya jamin. Ini boleh dibilang ….,” kata-katanya mengantung.“Apes?” tanya saya, sepertinya dokter memang ingin bilang kata ini.Tapi dokter tidak mengiyakan maupun membatah, kepalanya antara mengangguk dan menggeleng.“Dok, apa saya musti minum asam folat dosis tinggi?” tanya saya.“Percaya sama saya, ini bukan karena asam folat dan hanya terjadi satu kali aja. Makanya saya bilang, abis ini langsung hamil lagi.”“Dok, saya akan hamil gajah ya, waktu USG katanya ginjalnya jelek?”Lalu dokter memeriksa ginjal baby.“Ini apa, ginjal kan? Dua-duanya bagus, normal, kalau nggak perut baby udah bengkak.”Dokter kurang sependapat dengan USG 4D yang menurutnya komersial, rekomendasinya kurang bisa dipakai.“Jantungnya bisa didonor, Dok?” tanya saya. Dokter menggeleng-gelengka n kepala.“Jantungnya terlalu kecil, jantung orang dewasa aja susah untuk di donor.”“Kasus seperti ini sering nggak?” tanya saya lagi.“Udah sering,” jawabnya.“Di German ada, di PIK ada, di Pluit ada, Mutiara waktu belum jadi Family juga ada. Biasanya hidup tiga hari, yang paling lama hidup tujuh hari, akhirnya meninggal juga. Nanti melahirkannya biasa aja, diinduksi dan pakai epidural, nggak perlu dicaesar. Kalau nggak diinduksi dan epidural, lahirnya bisa lama, takutnya keburu kehabisan tenaga.”“Apakah dia akan telat lahir?” tanya saya cemas.“Nggak mesti. Biasa aja, lahir tepat waktu.”Dokter juga menyarankan untuk kontrol kapan aja, pas hari melahirkan juga boleh, dan minum susu untuk kalsium ibu, tidak perlu vitamin lain.Kehamilan 35 mingguDokter menunjukkan posisi kepala baby masih di atas, tidak bisa memutar karena sesuai gravitasi, pantatnya lebih berat dari kepalanya, baby sungsang.“Lu siap-siap lahir pantat ya,” kata dokter santai.“Kata mama, dulu saya juga lahir pantat dulu,” kata saya.“Apa lingkar pantat lebih kecil dari kepala?”“Kalau babynya kecil, lingkarnya hampir sama,” jawab dokter.“Tapi kalau babynya gede bisa bahaya, bisa nyangkut di bahu pas lahir. Lu nggak usah takut, baby lu nggak besar, mungkin nggak sampai tiga kilo. Gua coba ukur ya kira-kira beratnya berapa.”Setelah mengutak-ngatik monitor, dokter berkata,“alat ini selalu minta lingkar kepala, sedangkan baby nggak punya lingkar kepala. Jadi kalau kita masukkin lingkar kepala nol, dia nggak mau keluarin beratnya. Barusan gua ukur dia punya tungkai kaki dan tangan, ukurannya normal. Bagus.”Dokter masih penasaran mengutak-ngatik lagi. Akhirnya menyerah.“Baby begini, memang biasanya sungsang, dia nggak bisa muter, pantatnya lebih berat dari kepalanya dan memang lebih bagus lahir pantat sehingga nanti ada penekanan supaya mulut rahim bisa terbuka.”Sambil USG, dokter cerita,“pagi ini gua praktek kesiangan karena diatas tolong satu ibu dulu, hamil lima bulan tapi udah keburu pecah ketubah, baby mau dicoba untuk dipertahankan satu bulan lagi baru dilahirin, tapi ibunya keburu panas tinggi dan kejang, akhirnya babynya nggak tertolong, belum mateng.. “Mata dokter masih di layar monitor, sambil memperlihatkan baby ke saya.“Dok, mukanya baby akan cakep atau seperti monster?” tanya saya, selama ini gambaran mukanya adalah fotonya saat USG 4D.“Mukanya biasa aja, seperti muka baby lainnya, hanya aja dia cuma sampai alis.”“Bisa dipakein topi?”“Nggak bisa lho, karena dia nggak ada lingkar kepala.”Belakangan saya baru sadar bahwa dokter berbohong untuk membesarkan hati saya, baby mukanya tidak biasa, sama seperti semua baby anencephaly, matanya menonjol seperti kodok.“Apa isi otaknya akan berantakan?” tanya Jc“Otaknya nggak berantakan, seperti tahu, ada penutupnya seperti selaput tipis.”“Dok, apa jantung atau ginjalnya bisa didonor?”“Wah bagus sekali kalau bisa,” wajahnya langsung cerah, matanya berbinar-binar.“Coba lu cek ke Harapan Kita. Kalau bisa didonor, dia nggak akan sia-sia kan? Mungkin masih bisa berguna buat yang lain. Bagus sekali lu punya pikiran seperti itu.”Dokter pun cerita kalau ada pasiennya ada juga yang cacat jantung berat, babynya tidak ada harapan untuk hidup. Kemungkinan saat lahir langsung meninggal. Tapi orangtuanya bilang mereka mau coba lahirkan di Singapura, dan dokter bilang nggak masalah. Ketika kontrol sebulan setelah melahirkan, ibu itu cerita kalau babynya sempat hidup seminggu di ICU, sempat juga jalani operasi jantung tapi akhirnya meninggal juga“Saya sudah cek di internet, belum ada mengenai donor jantung baby,” kata saya.“Memang… sulit sekali operasi jantung, apalagi ini jantung baby, kecil sekali.”“Kapan kontrol lagi, Dok?” tanya saya.“Lu kontrol lagi akhir bulan aja, nanti pas 38 minggu aja, nggak perlu mingguan, biasanya kalau akhir bulan lebih sepi, nggak seperti awal bulan, lebih ramai. Jadi lu juga nggak perlu antri lama-lama. Gua biasanya menghibur begini ke pasien,” katanya sambil senyum.Mau gimana lagi, dokter memang kesayangan ibu-ibu hamil.Kehamilan 38 mingguHari itu baby muter lagi, kali ini kepala berada di bawah, sudah siap dengan posisi lahir. Saya sempat bertanya-tanya, apa ini jawaban dari novena, karena saya cemas akan melahirkan sungsang. Paru-paru baby sudah matang dan sudah siap lahir.“Baby akan terlambat lahir sekitar dua minggu, nanti kita lihat, kalau fungsi plasenta sudah menurun baru kita induksi,” kata dokter. Dokter mengingatkan bila pecah ketuban atau keluar flek darah, langsung ke kamar bersalin lantai 2, nanti suster akan menelpon dokter.Minggu ini, kata dokter, ada pasien baru, kontrol umur 38 minggu. Baby sudah mau lahir, tapi si ibu tidak tahu kalau babynya tanpa tempurung. Ibunya kaget, dokter sebelumnya tidak pernah inform. Menurut dokter, kemungkinan dokter buru-buru, hanya menghitung panjang lengan dan kaki, kalau kepalanya menyumpet tidak dicari. Saat memeriksa ibu itu, dokter juga tidak percaya kalau babynya tanpa kepala, sampai dokter meminta untuk USG lewat vagina, karena baby sudah turun kadang sulit mengecek kepalanya.Pasiennya ada yang terkena thalasemia, anak kedua. Orang tuanya masing-masing membawa thalasemia mayor. Anak pertama sehat, tapi anak kedua kemungkinan kena. Mereka bertanya apa yang harus dilakukan.Dokter mengatakan bahwa cuma bisa amniosintesis, ambil sample air ketuban, lewat pusar ibu. Tapi kemungkinan ibunya bisa terkena infeksi dan baby gugur.Mereka tidak jadi melakukannya karena yakin babynya akan tidak apa-apa. Saat baby sudah lahir berumur tiga bulan, mereka bertemu dokter lagi, dokter berkata, “baby elu lucu.”Tapi mereka menjawab, “lucu sih lucu.., tapi menyedihkan. Benar yang dokter bilang, dia kena thalasemia. Umurnya baru tiga bulan, tapi sudah dua kali transfusi darah, habis cuci darah baru segar lagi, sebentar dia pucat lagi, musti transfusi darah lagi.”Dokter menerangkan bahwa untuk bayi, transfusi itu sangat menyakitkan sekali karena pembuluh darahnya begitu kecil, susah mencari nadinya dan ditusuk-tusuk. Menderita sekali. Proses ganti darahnya lebih lama dari orang dewasa.Dokter menyarankan untuk transplantasi sum-sum di Hongkong karena teknologinya sudah 20 tahun lebih maju dan mereka sudah berhasil menyembuhkan thalasemia. Biayanya sekitar 1,5 milyar baru untuk berobat aja, belum termasuk tinggal dan cek rutin.Mereka bilang ya, saat ini kumpulan dana untuk berobat.Ada seorang enci jualan manisan di Pancoran, suaminya baru kena stroke, sedangkan jualan manisan sepi sejak issue formalin. Bayinya 35 minggu, jantungnya tidak bagus. Dokter bilang baby mungkin akan meninggal dalam seminggu, jadi kalau bisa minggu depan kontrol lagi.Tiga minggu kemudian enci itu baru datang lagi, dia bilang babynya udah seminggu lebih tidak bergerak. Dokter mengecek, tahunya sudah meninggal di dalam, baby hanya bisa dilahirkan.Lalu enci itu menanyakan biaya melahirkan ke admin dan kembali ke dokter mengatakan bahwa biayanya masih kemahalan. Dia menanyakan rumah sakit mana yang murah. Dokter bilang Rs Budi Kemuliaan di Tanah Abang, setahunya murah dan bagus karena rumah sakit itu semi pemerintah.“Tiap hari ada aja yang bikin sedih, yang cacat banyak, macam-macam cacatnya,” kata dokter, terdiam sebentar,“yang meninggal juga ada…”Dokter menatap lurus mata saya,“gua cerita banyak ke lu karna gua mau lu tahu … kalau lu nggak sendiri.”Saya sampai terpana mendengarnya. Tidak pernah terpikir sejauh ini.Sambil menuliskan resep, dokter cerita kalau dia sedang sedih karena satu pasiennya hendak membuang babynya yang terinfeksi rubella. Dokter sudah mencoba meyakinkan mereka, bahwa ada pasiennya sekarang sudah umur lima tahun, divonis kena rubella saat masih dikandungan, kemungkinan cacat 90%, tapi orang tuanya tetap pertahankan dia, karena masih ada chance normal 10%.Orang tua anak itu sungguh bersyukur tidak buang baby mereka, nyatanya sampai sekarang anak itu sehat tanpa pernah diganggu rubella.“Kalau masih ada chance untuk normal, biar cuma 10%, kenapa harus dibuang?” katanya sedih. “Walau nggak ada chance, cacat pun kita pelihara dia, kenapa harus dibuang?”Kemudian dokter menatap kami, “untung lu tetap pelihara dia,” kata dokter.“Badan ada waktunya mati tapi roh itu kekal, dia tidak akan mati. Di akhir jaman nanti, saat semua dibangkitkan, baby akan bilang mama terima kasih karena mama nggak buang dia. Kalau dulu lu buang dia, saat bertemu nanti, dia akan langsung bilang ‘mama pembunuh’!”Dokter menghela napas.“Makanya banyak pembunuh yang hidupnya nggak bisa tenang karena terus dikejar perasaan bersalah.”Iya juga.., bagaimana kalau sampai dicap pembunuh oleh anak sendiri.“Dok, nanti kalau setelah melahirkan, pas udah boleh pulang, apakah saya boleh ikut kreamasi?” tanya saya.“Jauh nggak? Kalau dekat-dekat aja dan cuma sebentar sih boleh. Soalnya lu masih belum kuat.”“Deket kok, di Atmajaya.”“Kalian sudah ke sana?”“Udah,” kata Jc.“Tahunya baby nggak perlu difreezer, Dok. Baby tiga hari dibiarin masih bagus, nggak perlu diformalin juga. Kita nggak perlu sewa ruangan karena biasanya baby nggak ditungguin keluarganya. Atmajaya juga akan sediakan satu ruangan kecil untuk kebaktian.”“Memang, badan baby beda ama kita,” kata dokter. “Badan kita kan udah kotor, perut kita juga makan sembarangan, jadi lebih cepat busuk. Tapi baby kan belum makan, darahnya juga masih bersih, jadi bisa tahan lama.”Lalu dokter menjadwalkan kontrol berikut, dua minggu yang akan datang.Kehamilan 40 mingguSesuai yang dijadwalkan, kami kontrol. Hari itu hari perkiraan lahir. Sudah empat hari saya merasa perut kencang seharian, tapi mulasnya tidak bertambah, masih bisa ditahan.“Ini lagi kontraksi,” kata dokter sambil memegang perut saya yang saat itu sedang kencang.“Sakit nggak?”“Nggak,” jawab saya.“Ya segini-gini aja, nggak mau nambah, masih bisa tahan.”“Memang, baby nggak bisa menekan, dia nggak punya tempurung kepala yang bikin berat, untuk dorong supaya rahim mau ada pembukaan.”“Posisinya udah turun ya, Dok? Perut atas saya sudah kosong.”“Memang sudah turun, tapi dia nggak mau menekan.”“Kita tunggu dia kontraksi alami ya, sampai tanggal 16, kalau nggak lahir juga, baru gua induksi. Gua nggak mau buru-buru induksi, nanti lu kesakitan banget, biasanya kalau sudah diinduksi pada nggak tahan, sekalian minta epidural. Lu kan nggak boleh pakai epidural,” kata dokter prihatin.“Lihat nanti deh, atau gua balon dulu ya, gua pancing dia mulas dulu, jadi nggak usah induksi dulu.”Lalu dokter meresepkan obat pelunak rahim untuk diminum malam sehari sebelumnya. Tapi begitu saya minta disiapkan darah untuk jaga-jaga pendarahan, dokter langsung mencoret resepnya, batal memberikan obat, “jangan obat ini deh, takutnya malah bikin lu pendarahan.”Dokter berpikir keras, menganalisa segala kemungkinan. “Nanti aja di kamar bersalin baru gua atur, induksinya pelan-pelan aja, jadi lu nggak perlu diepidural, gua bikin lu nggak kesakitan ya,” janjinya.“Dok, nanti sekalian pasangin selang buat transfusi darah ya?” pinta saya.“Lu tenang aja,” jawab dokter. “Gua pasti siapin darah buat lu sekalian selangnya. Pasien gua pasti udah dipasangin, jadi kalau pendarahan, bisa langsung transfusi darah, lebih cepat. Kalau pendarahan baru mau cari nadi, udah terlambat, nggak keburu, nadinya susah ketemu.”Langsung terbayang saat pendarahan yang lalu, beberapa suster berlomba mencari nadi di segala penjuru, kaki, telapak tangan, lengan, kiri dan kanan, semuanya ditusuk dengan jarum, bahkan setelah tusuk masih dibelok-belokkan, sakitnya terasa tapi badan saya tidak berdaya, saya diantara sadar dan tidak.Samar-samar, sekeliling ranjang saya terlihat sudah penuh suster dan ada satu dokter, badannya tinggi besar dihadapan saya. Badan saya diguncang-guncang dari bahu sampai kaki oleh beberapa suster, ada yang meneriakkan di kuping saya bahwa saya tidak boleh tidur, harus bangun, harus bangun, pipi saya ditepuk-tepuk keras-keras kiri kanan, serasa terayun-ayun, semuanya jadi putih, begitu damai.., dingin.. tidur.. putih..Suara orang demikian ramai, tapi terdengar jauh sekali, makin lama makin menghilang. Pikiran saya melayang jauh, mata saya mencari-cari … dimana ini, mana ya Yesus, janjiNya mau jemput… kok nggak datang-datang. Saya hanya melihat ada satu warna.. putih yang terang, putih yang dingin, putih yang damai…“Bener, Dok” jawab saya,kalau pendarahan pulihnya lama, dua bulan masih keleyengan.”“Moga-moga kali ini lu nggak pendarahan ya,” katanya optimis.Lalu dokter menulis resep, “Vitamin masih, Yen?”“Abis.”“Gua resepin Inbion aja ya, resepin lebih, soalnya nanti abis melahirkan lu banyak hilang darah, lu tetap minum ya buat tambah darah. Ngomong-ngomong, dulu ASI lu banyak nggak?”“Nggak terlalu.”“Kalau banyak, gua nanti sekalian kasih obat stop ASI, lu kan nanti nggak nyusuin.”“Tiap kali ASI suka masalah. Yang pertama, sempat dibawa ke UGD, kejang-kejang, yang kedua panas tinggi. Macet salurannya.”“Terus lu gimana?” tanya dokter, dahinya terangkat. “Pasien gua banyak kayak lu.”“Di rumah ada alat yang kayak di tempat akupuntur, buat sinar, dadanya dipanasin, nanti ASInya bisa keluar sendiri, lancar. Kalau nggak mah keras banget, mau dipompa nggak bisa, diperas nggak bisa. Sakit banget.”“Beli dimana alatnya, biar nanti rumah sakit sediain juga,” tanya dokter.“Nggak tahu, kakak saya yang beli.”“Boleh juga ya cara lu .. nanti gua kasih tahu pasien gua deh,” kata dokter gembira.Saya sampai terheran-heran melihat dokter, padahal hanya sebuah ide sederhana.berlanjut... blitz, 25 November 2010 #2
blitz [DS] Senior Hari HMisa pagi hari itu, terbukalah hati saya yang selama ini sangat mengharapkan kesembuhan baby. Romo berkata, “Yesus ada dimana kehendakNya terjadi.”Romo menutup misanya dengan berpesan mengutip kata-kata Martin Luther, “kalau kita berjumpa Yesus hari ini, hanya empat kalimat yang akan Dia katakan, I Love You, I Know You, I Understand You… terakhir… Do You Know Me? Saya mencintaimu, Saya mengenalmu, Saya mengertimu, apakah kamu mengenalKu?”Air mata saya langsung menetes, maafkan saya, Yesus, saya meminta begitu banyak padahal saya tidak mengenalMu. Bagaimana Kau bisa berkarya di hati seperti ini? Saya meminta Kau menyembuhkan Ancillo, tapi kita seperti orang baru kenalan. Mulai hari ini, biarkan aku belajar mengenalMu dari awal lagi, tambahkanlah imanku.Sejak saat itu saya berhenti mengharapkan mujijat kesembuhan, biarlah kehendakNya yang terjadi. Hati saya lebih tenang. Bukankan Tuhan tidak akan memberikan cobaan melebihi kekuatan kita? Romo menambahkan, “Percaya sungguh-sungguh pada Yesus dan terjadilah.”Jam 8 pagi saya masuk kamar bersalin setelah mengisi formulir admin dan menyerahkan buku medik ke suster. Suster langsung menyiapkan CTG untuk memantau jantung baby dan kontraksi selama setengah jam, lalu mengambil darah dan menyiapkan infus induksi, juga menyiapkan sekantong darah untuk jaga-jaga. Suster juga memberikan obat mulas untuk cuci perut.Jc membisikkan saya bahwa tetangga sebelah saya, pasangan muda dengan anak pertamanya, akan melakukan aborsi. Babynya berumur 15 minggu, terinfeksi rubella. Jc sempat bertukar cerita dengan suaminya di ruang tunggu. Awalnya mereka pakai Dr Ronny tapi dokter tidak kasih aborsi malah meminta mereka untuk mempertahankan baby ini. Tapi mereka tidak mau baby yang cacat, mungkin saat lahir tidak cacat, tapi kemungkinan cacatnya muncul tiba-tiba di umur 2 – 3 tahun, kasihan kalau anak harus hidup dengan kecacatan, kata suami itu.Dokter Ronny tidak mau memberi rekomendasi ke dokter mana, sehingga mereka kelimpungan cari dokter sana-sini, yang mau melakukan absorsi.Seharian saya memang sempat mendengar pembicaraan mereka, bahwa istrinya ketepa campak, cacar jerman, dari keponakannya. Setelah sembuh, dua bulan kemudian istrinya hamil. Otomatis virus masih ada di tubuh istrinya dan dari lab cek darah ketahuan terinfeksi rubella.Terdengar istri menangis dan mengeluh perut bawahnya sakit dan mulas sekali. Pasti dia juga tidak ingin kehilangan babynya. Ada satu baby lagi yang berada di sakratulmaut, karena orangtuanya takut cacat. Saya mendoakan koronka untuk baby ini, saya memberi dia nama Ruben, walaupun saya tidak yakin doa saya ini dapat membatalkan rencana aborsi mereka, paling tidak saya berdoa untuk Ruben di saat menjelang kematiannya. Saya berkata, Tuhan beri saya kekuatan untuk bilang jangan diaborsi. Tapi Tuhan membisu, membiarkan semuanya terjadi.Perlahan saya menyibak horden pembatas, tiba-tiba saya berkata, “babynya dilahirkan saja. Kalau kamu takut dia cacat, babynya buat saya saja.”Saya sendiri kaget, kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulut saya. Saya yang menginginkan baby, malah cacat dan pasti meninggal, mereka yang ada chance baby normal, malah ingin melenyapkannya. Tidak adil.Suaminya menjawab, “kita juga berdua sayang anak-anak, tapi kasihan kalau dia cacat, lebih baik dari kecil kita aborsi. Kita nggak nyangka dia kena rubella. Dokter bilang dia 75% cacat.”“Teman kantor saya ada beberapa yang rubella juga tapi babynya nggak masalah, normal-normal aja, malah sekarang sudah TK,” jawab saya, jantung saya berdetak sangat kencang.“Iya, kalau normal.. kalau cacat, kita kan nggak tahu?” kata suami.“Makanya saya bilang, buat saya saja, biarkan dia lahir. Baby saya juga cacat, dia nggak akan hidup, kalau boleh.. , baby itu boleh untuk saya?”Andaikan boleh, terpikir oleh saya, dia akan jadi baby yang membawa luka batin sejak dalam kandungan, tapi luka bisa sembuh kalau ada yang menyayanginya.Suami itu hanya nyengir. “Kita senasib dong. Putusan kita sudah bulat kok.”Senasib? pikir saya dalam hati, sambil membalikkan badan. Senasib hanya karena bayi-bayi ini akan meninggal segera.Tiba-tiba kesedihan yang mendalam menghampiri saya. Begitu mudah manusia membunuh babynya, padahal masih ada chance untuk normal.Esok paginya, jam 9.30 tiba-tiba ketuban pecah. Saya sempat kaget dan berteriak kecil, “Auuu…”Bukan karena sakit, tapi seperti balon yang berisi air panas tiba-tiba pengikatnya ditarik, terbuka dan tumpah.Jc yang lagi asyik mojok sambil baca berita di Hp langsung loncat berdiri, panik, “Ha? Kenapa? Kenapa?”“Ketubannya pecah, banjir. Lu keluar dulu, mau manggil suster, entar gua call ya kalau udah beres.”Jc buru-buru keluar sebelum suster datang, dia masih khawatir.“Sus,” panggil saya. “Ketubannya pecah.”Dua orang suster langsung datang, seluruh badan saya dari leher sampai kaki sudah basah kuyub. Lalu suster menolong saya menggantikan baju, mengganti sprei dan selimut. Seorang suster lain langsung menelpon dokter memberi kabar. Tak lama, seorang suster lain datang, mengepel lantai, karena basah kemana-mana, tumpah-ruah.Perut langsung mengecil, lebih ringan.Setiap ada kemajuan pembukaan suster selalu mengabarkan dokter.Pas jam 14.00 dokter muncul dengan riang gembira, jalannya super cepat. Memang begitu gayanya.“ Yenny , lu udah siap?” kata dokter penuh semangat. “Akhirnya mau lahir juga. Pas banget, pasien gua juga udah habis.”Dokter yang super riang ini berjalan mondar-mandir dan mengobrol ama suster yang sedang menyiapkan kamar tindakan. Dokter juga memeriksa dan menyemangati satu pasien yang baru masuk, hendak dipasangkan epidural.Seorang suster berdiri dengan sabar di sisi ranjang saya, katanya, “ibu, kalau mau ee bilang ya.”“Saya belum mau ee,” kata saya.Tapi tidak sampai semenit-dua menit kemudian saya berkata lagi, “Sus, mau ee, gimana nih?”“Ya udah, ibu ee-in aja, nggak apa-apa.”Saya masih bingung, gimana caranya ee, mulasnya datang berlomba-lomba dan bertubi-tubi.Suster langsung beres-beres, melepas botol infus dari elektronik dan menaruhnya di ranjang saya, mendorong ranjang saya ke kamar tindakan. Lalu saya pindah ke ranjang tindakan. Rupanya ee merupakan tanda sudah mau lahir.Ruangan tindakan dingin sekali sampai saya tetap minta diselimuti yang tebal. Lalu kedua kaki dibentangkan. Masih dingin sekali, saya minta kedua kaki saya dililit selimut kain putih yang tipis biar hangat. Mulas datang bertubi-tubi, ada satu yang bikin saya kesakitan sehingga saya sempat teriak kencang, “Aaaaaa…”“Sttt, jangan teriak, ibu,” buru-buru suster memperingatkan saya. “Nanti tenaganya habis, simpan tenaganya untuk ngedan saja.”“Sorry… lupa, habis sakit banget,” kata saya sambil mengatur napas.Napas pendek salah, napas panjang tidak bisa.“Sus, napasnya musti gimana biar nggak sakit?” tanya saya sambil mencengkram lengan suster erat-erat.Beberapa minggu lalu saya sempat melihat senam hamil, untuk refresh memory saat mengedan, tapi tidak sempat latihan napas di rumah karena tiap hari dari kantor pulang malam. Boro-boro mau latihan napas. Sampai di rumah langsung diserbu oleh dua unyil kecil-kecil yang cerewet ditambah dua unyil lain, keponakan saya, yang sama cerewetnya.“Ibu, tarik napas panjang… terus buang ‘haaaa’,” kata suster yang juga guru senam hamil.Saya coba mengikutinnya, tarik napas panjang, tidak hilang juga mulasnya, ya udah pikir saya, yang penting masih bisa napas.Jc berada di sisi saya. Saya selalu kehausan. Dia siap sedia memberi minum lewat sedotan. Suster mengingatkan minum hanya untuk membasahi mulut aja, jangan banyak-banyak.Tiba-tiba kedua tangan saya tegang, kaku dan sekitar mulut saya juga baal, “Sus, kaku nih, gimana?” tanya saya.“Ibu, jangan tegang, coba sini, tangannya pegang ini,” kata suster sambil menggiring tangan saya memegang besi untuk menarik badan saat ngedan. Mengurut-urut tangan saya.Jc membantu menekukkan jari saya sebelah kanan untuk memegang besi itu.“Sus, nggak berasa, urutnya kencangan dikit,” pinta saya.“Jangan kencang-kencang, segini udah cukup, nanti tangan kamu biru-biru.”“Nggak apa-apa, belum terasa, Sus,” pinta saya lagi.“Nggak boleh lebih kencang lagi, biru-biru, besok baru berasa sakitnya,” jawab suster dengan sabar.Dokter sedang memakai baju pelapisnya sambil bernyanyi-nyanyi, menggulung lengan kemeja panjangnya, memakai sarung tangan dan siap-siap duduk di kursi tindakan.“Hebat dia,” puji dokter. ”Untung mutar pantat dulu, kalau nggak, bisa lebih lama lahirnya. Padahal pas gua cek terakhir, masih kepala.”“Dok..,” tanya saya, “sebelum digunting nanti, dibius dulu nggak?” saya takut banget digunting. Padahal dulu pernah nanya, tetap aja nanya lagi.“Nggak dong. Lu tenang aja, nanti gua bikin lu nggak berasa sakit,” janjinya.Lalu dokter memberi suster aba-aba untuk semprotkan spray betadin.“Ayo, sayang, bukaan udah lengkap,” kata dokter penuh semangat. “Tuh udah keliatan pantatnya, tunggu mulas datang lalu dorong yang kuat ya.”Dokter menoleh sekeliling ruangan. “Heran.., lu masih kedinginan ya, padahal dari tadi AC udah gua matiin.”“Iya.. dingin banget,” sahut saya menggigil.“Sabar ya, sebentar lagi udah mau lahir. Tuh infus juga udah gua stop,” kata dokter.Saya mulai mengedan, tapi caranya salah, tenaganya terlepas hanya sampai di mulut. Ternyata cara ngedan bisa lupa juga.Suster mengajari saya bahwa harus mendorong kuat ke bawah, seperti hendak ee yang keras sekali seperti batu.Akhirnya saya berhasil ngedan dengan benar. Saya mengedan beberapa kali. Suster dan dokter kasih semangat terus-terusan. Bagus, bagus, dikit lagi, dikit lagi. Cakep, cakep banget, ayo lagi.Mustinya sekali ngedan 2-3 kali dorong, tapi saya hanya kuat 1½ kali, lalu saya kasih tanda pakai tangan, “stop…stop dulu.., nggak kuat…ambil napas dulu ya…”“Boleh. Nggak apa-apa. Gua tungguin kok,” kata dokter santai. Dokter dan suster berhenti menyoraki semangat, menunggu mulas datang lagi.Dengan sabar dokter menunggu sambil mengobrol dengan suster-suster. “Lu orang pada mau makan padang nggak?”“Nggak mau ah, kalo padang, baru aja makan,” jawab suster. “Emang Dok belum makan? Udah jam berapa nih?”“Belum makan, nggak sempat. Makan apa ya? Bosan makan soto.”Dokter memperhatikan suster satu-persatu, mukanya sumringah, kocak banget, katanya, “Lu orang cakep bener sih hari ini.”“Cakep dong, Dok,” sahut suster-suster pamer.“Pakai safari biru. Nggak kayak suster deh, bikin orang pangling aja. Udah kayak orang kantoran. Hallo.., di sini resepsionis. Bisa dibantu?” tertawanya riang memenuhi seisi ruangan. Semua suster tertawa.Aduh, orang lagi mulas sempet-sempetnya pada bercanda.Belum lagi dokternya bercanda-canda pakai bahasa Jawa sama suster, mereka semua tertawa riang. Saya nggak ngerti.“Kalau di desa,” kata dokter, “mau lahir sungsang nggak masalah. Tapi orang kota malah takut setengah mati, pada minta dicasesar. Padahal sama aja. Orang desa malah kalau dibilang mau caesar, sudah kayak mau mati, udah dibaca-bacain.”“Betul, Dok,” jawab suster, “sudah sekalian disiapin buat upacara pemakamannya juga.”Ada sepuluh kali lebih saya mengedan, tapi tidak juga mau lahir.“Untung panggul lu gede, Yen,” kata dokter. “Jalan lahir juga bagus banget. Udah cakep bener nih. Ayo dikit lagi, ya,” dokter terus memberi semangat.Lalu dokter dan suster kembali bercanda disela-sela saya ambil napas. Semuanya santai.Seorang suster memberikan lengan dan rusuknya untuk menjadi pijakan bagi kaki saya.“Dok, nahannya musti gini, nih,” kata suster sambil menyampingkan badannya. “Kaki nahan disini, ngedannya jadi lebih kuat.”“Pinter betul lu!” dokter memuji. “Jadi seperti pijakan ya.”Saya meminta suster di sebelah kanan saya juga sedikit menyamping, menahan kaki saya sehingga pijakannya seimbang. Ternyata memang betul, tenaga saya jadi lebih kuat.Satu suster berada di atas kepala saya, melap muka saya yang keringatan.“Dok, kok nggak nyampe-nyampe sih?” tanya saya terengah-engah hampir kehabisan napas.“Dikii.iiit lagi…,” jawab dokter sambil tersenyum. “Kalau ini kepala, udah dari tadi gua vakum. Lha, ini pantat. Gimana mau divakum?” katanya sambil tertawa. “Ayo, coba lagi, gua tungguin kok, kali ini yang kuat lagi ya.” Dokter terus menyemati.Lalu saya mengedan lagi beberapa kali. Akhirnya dokter berkata, “abis ini, ngedan sekali lagi yang kuat, baru gua gunting, ya.”Kata ini yang paling membuat saya lega. Sampai juga di ujung. Kirain tidak berujung.Saya mau berdoa meminta kekuatan tambahan dari Tuhan tapi tidak bisa, otaknya sudah tidak bisa merangkai kata-kata.Tinggal satu dua kali lagi, ulang saya dalam hati, lalu saya meminta selimut tebal di atas dada saya dilepas, karena kepanasan, dan supaya tangan suster bisa bantu mendorong dari atas perut. Saya sudah mandi keringat, napas juga sanggupnya pendek-pendek, lelah, mulas.Saya menarik napas panjang, menahan dan mendorong sekuat tenaga, dari atas saya melihat sesosok tubuh, pantat baby yang bulat perlahan keluar.Saat yang sama dokter menggunting perineum, rasanya lebih enak karena keluarnya jadi lancar, tidak terasa sama sekali saat digunting.Suster bantu mendorong dengan tangannya yang kuat, saya menarik napas kedua, semuanya terlihat, punggung bayi keluar perlahan. Dokter sudah menangkap baby dengan kedua tangannya, dan … bayi melesat keluar! Utuh, menekuk mencium lutut, seperti dipress.Whuaaa! Selesai! Leganya! Semua sakitnya hilang. Lenyap begitu aja.Saya menaruh kepala saya, tenaga saya habis, baru bisa bernapas sedikit panjang, tapi masih ngos-ngosan juga.Dokter memegang baby dengan kedua tangannya, mengangkatnya lebih tinggi sehingga saya bisa melihatnya.Baby tidak menangis, dia terkulai diam.“Meninggal ya, Dok?” tanya saya pasrah.“Ya…,” jawab dokter pelan. “Baru aja meninggal.., masih merah, sesaat mau lahir, dia pergi…”Dokter membetulkan posisi baby yang masih menekuk, satu tangan memegang kepala baby dengan hati-hati, satu tangan lagi menahan pantat baby, terlihat wujud baby yang mungil, matanya setengah menutup seperti sedang tertidur nyenyak, begitu damai…Jc langsung menangis begitu melihat baby. Saya tidak menangis, tidak punya tenaga lagi untuk menangis. Jc merangkul kepala saya, dia menyembunyikan wajahnya dan menangis di kuping saya.“Jangan nangis..,” pinta saya perlahan sambil meraih kepala Jc. “Saya aja nggak nangis..”Saya tidak bisa memikirkan apa-apa lagi.Dokter menyerahkan baby ke suster.Suster bertanya ke saya, “mau lihat?”“Ya…,” kata saya lirih. ”Saya mau lihat siapa yang selama ini nakal di perut saya.”Perlahan Jc mengangkat wajahnya, tetes-tetes air matanya berjatuhan. Mencoba berdiri tegar di sisi saya. Lalu Jc meninggalkan saya dan menghampiri suster.Saya melihat baby sebentar, serasa tidak percaya, baby cakep sekali. Perlahan saya membelai dengkulnya yang masih menekuk, membelainya sampai ke kakinya. Kecil sekali kaki-kakinya. Mungil sekali. Masih ada sedikit bercak darah di sana sini. Kulitnya masih terlihat keriput. Ancillo telah pergi diam-diam.Lalu suster membawanya pergi, tidak memberi saya kesempatan lebih lama sedikit untuk memperhatikan baby.“ Yenny ..,” kata dokter, “sekarang lu punya satu tabungan di surga…., dia menunggu lu di surga.”Saya diam saja. Mati rasa. Kosong. Ancillo sudah pergi ya.., tiba-tiba dia sudah pergi.Seorang suster yang berdiri di dekat saya berkata perlahan, “Dok.., saya juga punya satu tabungan di surga.”“Saya nggak tahu.., kapan?” tanya dokter menoleh padanya.“Pergi umur dua tahun, Dok,” jawabnya sedih. ”DS”“Dia juga sedang menunggu lu di surga,” hibur dokter.Jc terus berada di samping suster, mendampingi baby.“Mirip siapa?” saya bertanya pada Jc.“Antara Vincent dan Francis,” jawab Jc.Lalu dokter meminta saya untuk sekali lagi mengedan, tidak perlu kuat-kuat, untuk keluarkan plasentanya. Sambil menekan perut saya, plasentapun keluar dengan mudah. Tidak terasa sakit.Dokter lalu menyuntikkan bius local sebelum menjahit, “gua tambahin satu suntikan, jadi tiga, biar lu nggak rasa sakit ya.”Saya diam aja, memperhatikan suster menimbang baby.“Beratnya 2410,” suster melapor.Dokter langsung membalikkan badan, menoleh ke suster, “coba timbang lagi, masa cuma 2410, gede kok.”“Bener kok, Dok, tuh 2410,” suster sambil menunjukkan jarinya di timbangan.“Cuma segitu ya..,” guman dokter.Badan baby cukup besar, sebesar baby 3 kilo lebih, ternyata otak dan tempurung beratnya sekitar sekilo sendiri. Panjangnya 46 cm.Jc mengambil beberapa foto baby.Sehabis menyuntik dokter langsung menjahit. Saya sempat terpikir, apa nggak kecepatan, rasanya obatnya belum berfungsi. Tapi memang tidak terasa sakit.Saya bertanya perlahan, tenaga saya belum pulih, “Dok.., disini ada nggak orang yang nggak mau babynya, terus babynya ditinggal?”“Gua nggak tahu. Kenapa?” tanya dokter.“Kalau ada.., saya mau adopsi.” Saat ini saya ingin sekali bisa membawa pulang seorang baby.“Ngapain lu adopsi?” tanyanya heran, tangannya berhenti bekerja. “Kalau lu masih bisa lahir sendiri, lu nggak bisa sayang anak adopsi.”“Mau yang instant.., cape hamilnya..”“Lu habis ini hamil lagi. Satu lagi.”“Jangan deh, Dok..,” potong Jc, sambil menghampiri saya, menanyakan dimana saya menyimpan baju baby.“Kenapa?” tanya dokter, menoleh pada Jc.“Ngeri ngelihat dia lahirin. Nggak lagi deh,” jawab Jc.“Dia mah takut banget saya mati, Dok” jawab saya masih bisa senyum. Jc memang selalu ketakutan bila di kamar bersalin. Tapi dia juga selalu setia menemani saya sampai tiga kali.Saya memberitahu Jc kalau baju baby ada di tas tersendiri, di kamar. Lalu Jc pergi mengambilnya.Dokter melanjutkan, “lu lahir satu lagi, masih bisa, tapi next time lu pakai epidural aja, jadi lu nggak perlu kesakitan kayak gini. Kali ini kan nggak pendarahan, jadi boleh epidural,” kata dokter sambil menekan-nekan perut, “kontraksi baliknya bagus kok.”“Nanti mama saya marah kalau saya hamil lagi.” kata saya.“Lu yang hamil, kok pakai nanya-nanya mama. Lu kan udah gede, putusin sendiri dong.”“Lihat nanti deh… tapi nanti bisa keropos tulang lagi, kayak mama teman saya.”“Nggaklah, asal lu rajin minum susu.”“Nggak bisa minum..”“Lu minum kalsium aja.”Dalam benak saya cuma mau pulang rumah, terbayang wajah Vincent dan Francis, sudah dua hari saya tidak bertemu mereka. Kangen ama mereka.“Dok..” panggil saya“Ya?” dokter menoleh.“Teman saya waktu itu suruh saya ke satu *******, yang katanya bisa sembuhin baby yang hidrocefalus, terus bisa sembuhin baby yang sudah meninggal dalam kandungan,” kata saya padanya.“Trus, lu gimana?” tanya dokter.“Nggak mau aja,” jawab saya pendek.“Gua juga pernah dengar tentang dia,” sahutnya tenang. “Menurut gua ya, sampai sekarang.., belum ada manusia yang bisa bangkitkan manusia. Yang bisa cuma Yesus.”Saya cukup terkejut mendengar jawabannya.Sekeliling saya sudah sepi, tinggal saya dan dokter, sebagian suster sibuk dengan baby, sebagian lagi sudah bubar.Aneh rasanya, saya masih hidup ya. Saya mencoba memahami yang baru saja terjadi. Iya betul, saya masih bernapas walaupun terengah-engah. Saya masih merasakan tangan saya membuka dan menutup, ngilu bila terkena dingin, belum hilang juga sejak mulai hamil besar.“Dok, kalau mau steril kapan?” tanya saya.“Sekarang gini,” jawab dokter kembali menoleh.“Bisa langsung?” tanya saya.“Serius lu?” tanya dokter. “Lha.., gua udah jahit setengah baru bilang, mustinya tadi, pas gua belum jahit,” kata dokter. Tidak terdengar nada marah sedikitpun. Matanya menanti jawaban saya.“Nanya doang kok,” kata saya.“Lu ngagetin gua aja,” sahutnya lega. “Nanti aja kalau mau steril, pas lu kontrol lagi. Jangan sekarang ya, lu pikir dulu baik-baik, bukannya lu masih coba satu lagi?”“Dok…”“Hmm..?”“Kenapa kalau udah tiga bulan musti dilahirin normal ya, bukan langsung kuret?” tanya saya.“Ya, kan babynya udah gede. Lu lagi ngomongin yang barusan ya?”“Iya, tadi pagi, dikuret ama Dr. ****”“Gua juga baru tahu, tadi suster barusan cerita,” kata dokter pelan. “Dulu, dia pasien gua, kena rubella, gua minta dia pertahanin babynya tapi dia nggak mau..”“Dia cerita kalau dokter nggak mau aborsi.”“Ngapain aborsi?” suaranya datar, “rubella nggak napa-napa kok.”“Mereka takut babynya cacat.”“Tapi kan masih ada chance untuk normal? Kenapa musti aborsi?”“Istrinya sempat berubah pikiran tadi pagi, tapi suaminya tetap nggak mau.”“Gua pernah cerita ke lu kan pasien gua yang kena rubella juga? Sudah umur lima tahun sekarang, sehat-sehat aja.”“Pernah.”“Memang..,” kata dokter tertahan, “kalau rubella diaborsi, secara medis dibenarkan…” Suaranya berat, terdengar begitu terpukul, kecewa dan pasrah, semuanya sudah terjadi…“Kenapa dokter nggak langsung bilangin ke Dr. **** aja?”“Ngapain?” tanya dokter, enggan.“Dia sampai kelimpungan cari-cari dokter yang mau.”“Dulu memang gua menyebut nama dokternya, tapi sekarang gua nggak mau rekomen siapa, biarin dia cari sendiri. Kalau baby diaborsi, kasihan..”“Stop, Dok,” potong saya segera, “jangan cerita lagi, nanti saya nangis..”Saya tidak mau menangis, untuk napas aja udah susah payah.Dokter kembali bekerja. Tidak lama dokter merasa benangnya kurang. “Sus,” katanya, “tolong benang lagi dong, kayaknya kurang dikit.”“Nanti musti lepas jahitan nggak?” tanya saya.“Nggak, benangnya langsung menyatu dengan daging.”“O begitu..” kata saya. ”Emang berapa jahitan, Dok? Parah ya?”“Sus, ini berapa jahitan?” dokter balik bertanya ke susternya.“Dulu orang memang ngitungin berapa jahitan,” jawab suster sambil memberikan benang yang diminta dokter. “Sekarang nggak lagi, udah nggak dijahit, teknik jahitnya beda, jadi nggak bisa dihitung. Disulam ya, Dok, namanya?”Dokter cuma senyum mengangkat bahu.“Udah cukup, Sus, nggak jadi nambah benang deh, kayaknya benangnya pas banget panjangnya.”Lalu suster pergi, menyimpan balik benang di lemari.“Dok, yang seperti ini pasien ke berapa?” tanya saya.“Kedua,” jawabnya pelan. “Yang pertama waktu gua masih di kampung, sama seperti lu, sungsang juga.”Dokter menarik napas dalam-dalam, memejamkan matanya sejenak. “Pas tengah-tengah lahiran, mendadak ibunya emboli, jantungnya langsung berhenti.”Dokter terdiam sesaat.Saya menunggu dokter melanjutkan ceritanya. Emboli, pikir saya, udara masuk ke pembuluh darah, selalu fatal.“Ibunya kejang-kejang. .,” lanjut dokter, “langsung pakai segala cara untuk pacu jantung ibunya, berjuang mati-matian untuk selamatin ibunya..”“Selamat nggak ibunya?” tanya saya pelan dengan napas tertahan.“Selamat….,” kalimatnya menggantung.“Terus?” tanya saya berbisik.“Tapinya..,” kata dokter dengan sangat lemah, “abis itu ibu udah nggak bisa apa-apa lagi…”Deg! Jantung saya terasa berhenti. Mati otak? tanya saya dalam hati, saya tidak berani bertanya lagi.Hening. Kepedihan melintas.Lama terdiam.Pasti berat sekali buat dokter saat itu. Kejadian ini seakan membuka kembali lembaran lamanya, kenangan yang menakutkan, juga menyedihkan.Saya menarik napas dalam-dalam, memejamkan mata, lalu membukanya kembali, mengamati sekeliling saya, masih sama seperti sebelum saya memejamkan mata. Untung saya tidak kenapa-napa.Mata saya menerawang ke sudut atas ruangan yang putih bersih ini, saya melihat bayangan diri saya di sana , berdiri melayang di sudut atas, matanya memandang kosong ke depan, tatapannya hampa, sambil menggandeng baby. Dia memakai baju putih panjang yang sama seperti baju baby yang juga panjang. Matanya menyapu sekeliling ruangan ini, tampak punggung dokter dari belakang, kepalanya sedang menunduk, tampak pula diri saya yang sedang berbaring tak berdaya, wajahnya pucat, sedangkan di pojok ruangan tampak baby yang terbaring sendirian, tertidur dalam damainya, perlahan-lahan bayangan itu memudar, bergerak menjauh, semakin samar tertutup kabut putih, semakin mengecil…“Gua nggak berani cerita ini ke lu,” suara dokter seakan menarik kembali roh saya ke tempatnya semula. “Kalo gua cerita, nanti lu tambah ketakutan..”Saya terdiam.“Satu jahitan lagi selesai. Gua pastikan lu nggak pendarahan,” kata dokter lega.“Terima kasih ya, Dok..” Hanya itu yang mampu saya katakan padanya, saya tidak punya kata-kata lain untuk semua supportnya sampai detik ini.“Sama-sama,” balasnya tulus.Tidak lama kemudian dokter selesai, dia membuka sarung tangannya, menepuk-nepuk kaki saya, lalu bangkit berdiri perlahan dan langsung menghampiri baby.Lama Dokter berdiri di sana . Dia memperhatikan baby, mengucapkan selamat jalan dan melepas kepergiannya sambil berkata perlahan pada baby, “De.., inget-inget ama Om ya di surga…”Dokter masih berdiam di sana , termenung.Saya terharu mendengar kata-kata dokter. Tanpa saya sadari air mata pertama mengalir perlahan di kedua pipi saya. Sedari tadi saya belum menangis. “De, ingat mama juga ya di surga,” bisik saya lirih.Suster merapikan saya dan memakaikan baju biasa, sarung dan korset. Saya berbaring lemah, dinginnya ruangan kembali terasa menusuk tulang, suster lalu menyelimuti saya dengan selimut tebal berwarna coklat, hangat sekali.Ancillo sudah pergi, begitu tenang, bahkan dia tidak menyapa kami orang tuanya. Dia juga tidak meninggalkan kenangan akan tangisan pertamanya.Saya tidak bisa membayangkan bagaimana seandainya dia bisa bertahan hidup beberapa hari, dimana dia akan diletakkan, di kamar bersalin, di ruang bayi, di inkubator, di box baby, di sisi saya… bagaimana saya bisa kuat menghadapi detik demi detik, berjaga-jaga sambil memperhatikan napasnya satu-persatu, menemaninya terus di sisi saya, memandanginya sampai ajal menjemputnya.Dia benar-benar anak yang baik, tidak menyusahkan saya sama sekali. Benar-benar malaikat kecil saya dari Tuhan. Begitu istimewa. Begitu sempurna di mata saya. Satu jam lalu dia masih bersama saya, tadi siang juga dia tiba-tiba mutar. Anak yang hebat…Dokter membalikkan badan, melangkah pelan sampai ke dekat gantungan baju di sudut ruangan, baru aja mau melepas jubahnya, namun seorang suster mengingatkannya kalau masih ada satu pasien lagi, sudah mau lahir.Dokter teringat kembali, ada seorang ibu lain yang tengah menunggunya untuk menolong kelahiran seorang baby yang telah dinantikannya selama berbulan-bulan. Dirinya yang dipakai Tuhan menjadi perantara untuk menghadirkan buah cinta bagi kedua orang tuanya dan menjadikannya malaikat kecil di tengah keluarganya. Tangannya yang dipinjam Tuhan untuk menyelamatkan ibu dan anak. Dokter bergegas meninggalkan ruangan, menghampiri ibu itu.Malam itu saya tertidur, walau sebentar-sebentar terbangun. langsung saya teringat untuk menitipkan Ancillo pada Yesus.Saya kesepian sekali. Kembali menangis membayangkan Ancillo. Tadi suster begitu cepat membawanya pergi. Apakah memang begitu, supaya ibunya tidak terbayang-bayang akan babynya.Saya belum sempat memeluknya, belum mencium pipinya, belum mendekapnya, rindu ini tidak tertahankan. Saya ingin sekali lagi bisa membelainya, mengulanginya.Saya mengambil kamera, mengamati fotonya satu persatu. Suster mengikat kedua tangannya dengan kain kanfas putih, begitu juga kedua kakiny. Jc bilang, suster sempat mengatur mulut baby agar tidak terbuka, dan hendak mengikat rahangnya dengan kain kanfas putih. Tapi Jc melarangnya, dia tidak mau babynya diikat-ikat seperti orang mati. Biarkan dia berpenampilan seperti baby lainnya, seakan sedang tidur yang nyenyak. Matanya sedikit terpejam, tidak sampai menutup rapat, bola matanya kelihatan, baby seperti sedang terkantuk-kantuk. Kulitnya putih bersih, dadanya bidang, lengannya putih-bersih berisi, pahanya juga berisi, sehat sekali, telapak kakinya kecil, jari tangan kecil, begitu mungil, pipinya tembem, mulutnya mungil, hidungnya mungil, mancung, wajahnya imut-imut.Suster menutup atas kepalanya dengan kain bedong biru, baby tidak dapat dipakaikan topi karena topinya kebesaran, bila dipaksa pakai topi akan menyarungi seluruh mukanya.Foto lain memperlihatkan baby sudah dipakaikan pakai baju overall biru tangan panjang bergambar anak-anak domba, baby kelihatan begitu manis dengan bajunya yang kebesaran sedikit, kalau dipakaikan pampers pasti bajunya pas. Baby memakai kaos tangan dan kaos kaki, siap dibawa pulang… kalau saja dia tidak meninggal.Terima Kasih kepada Yenny, yang telah menuliskan kesaksian iniSemoga dengan kesaksian ini, pembaca dapat semakin dekat dengan Tuhan, mengakui kebesarannya dan tetap setia kepadaNya.Amin- Finish -
Dikutip dari web ...
Comments
Post a Comment
Silahkan isi komentar atau iklan baris Anda, Jangan lupa visit social media kami di FB/Twitter/Instagram @alamatclick